Mengenai Saya

Foto saya
Ganteng, Tidak Sombong, Rajin Menabung, Menyukai budaya pop dan klasik, Olahraga, Musik, dan Membaca.

Selasa, 11 Oktober 2016

ALAM

Bersahajalah dengan Lingkungan


            Antropologi sebagai sebuah ilmu dengan manusia sebagai objek utama dalam kajiannya, serta hubungan-hubungan manusia dengan lingkup hidupnya. Tidak hanya berhubungan dengan kebudayaan, manusia juga memiliki hubungan dengan alam dan lingkungan. Alam menyediakan berbagai sumber kehidupan manusia. Seringkali lingkungan dapat menjadi suatu faktor pembentukan pribadi atau watak manusia, fisik manusia yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain, bahkan lingkungan juga mempengaruhi sebuah tradisi atau budaya suatu daerah. Dalam tulisan ini, fokus yang akan dibahas lebih mengenai lingkungan yang memiliki hubungan terhadap budaya suatu daerah. Dalam ilmu antropologi, seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa manusia serta segala yang melingkupinya merupakan objek utama dalam kajiannya, termasuk lingkungan yang nantinya mempengaruhi kebudayaan manusia. Hal tersebut memunculkan sebuah cabang ilmu antropologi yang menkaji hubungan antara ekologi dengan manusia yang dirasa hal tersebut sangat menarik dan membawa pengaruh besar pada kehidupan manusia. Pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap kebudayaan merupakan sebuah pemikiran yang baru-baru ini dibahas secara sungguh-sungguh oleh para ahli antropologi. Lingkungan hanya dilihat sebagai faktor yang mempunyai pengaruh yang membatasi kebudayaan yaitu bahwa aktivitas tertentu mustahil terjadi pada iklim-iklim tertentu (seperti kebudayaan pertanian di daerah kutub), tapi jangkauan yang lebih jauh tidak ada sehingga lingungan hanya dilihat sebagai sesuatu yang tak mempunyai pengaruh langsung terhadap kebudayaan. (T.O Ihromi, 1999: 68)

            Involusi pertanian pada masyarakat Jawa dan penyakralan masyarakat India terhadap sapi merupakan salah satu fenomena mengenai ekologi budaya dan dibahas dalam antropologi ekologi. Sedikit membahas mengenai kasus pantang makan daging sapi di kalangan orang Hindu di India yang menjadi salah satu contoh dari hubungan lingkungan dengan kebudayaan. Kasus ini menjadi salah satu ketertarikan dari Marvin Harris yang terkenal dengan teori cultural materialsm. Gejala sapi suci di India sangat kontroversial pada banyak segi. Pada masyarakat kekurangan gizi dan nutrisi berjangkit luas saat itu, namun sapi tetap dibiarkan hidup dan mati begitu saja tanpa pernah dimanfaatkan daging dan lemaknya. Sapi di India ternyata juga sudah melampaui batas untuk menjaga kelestarian lingkungan, persediaan sumber daya alam yang tersedia hanya cukup untuk memberi makan sepertiga sampai setengah dari populasi sapi yang ada. Hal tersebut membuat manusia dan sapi di India saling berebut makanan karena apapun yang dimakan manusia juga dimakan oleh sapi, bahan makanan yang harusnya dimakan oleh manusia ternyata harus masuk ke dalam mulut sapi. Dapat dikatakan bahwa sapi adalah sumber bencana bagi keberlangsungan hidup manusia di India, semua ini berpangkal dari pelanggaran membunuh dan memakan daging sapi. Harris menarik kesimpulan bahwa sapi di India memang lebih baik dibiarkan hidup daripada disembelih dan dimakan dagingnya, pantangan membunuh sapi dikalangan orang Hindu ternyata memiliki fungsi positif bagi kehidupan ekonomi mereka.[1]

            Terlepas dari fenomena sapi suci di India, lingkungan dan kebudayaan memiliki hubungan yang jika lebih dikaji lagi kedua hal tadi dapat memberikan efek besar terhadap kehidupan manusia. Julian Steward adalah salah seorang yang menyarankan pengkajian tentang ekologi kebudayaan, yaitu analisa mengenai hubungan antara suatu kebudayaan alam dengan sekitarnya atau lingkungannya (T.O Ihromi, 1999: 68). Jadi dapat dikatakan bahwa lingkungan fisik dan lingkungan sosial berpenagruh terhadapa perkembangan dari kebudayaan yaitu dalam arti bahwa individu-individu dan bangsa-bangsa berperilaku menurut cara yang berbeda, mencapai keberhasilan yang berbeda tingkatnya dalam perjuangannya untuk mempertahankan kelompoknya dan jumlah mereka dan sebagai konsekuensinya berbeda juga mengenai cara penyampaian atau transmisi pola-pola perilakunya dari satu generasi ke generasi.berikutnya. Berangkat dari anggapan bahwa lingkungan memiliki keterkaitan dengan kebudayaan manusia, maka hal tersebut juga terlihat pada film dokumenter seorang reporter dari Barat untuk mendokumentasikan beberapa kehidupan manusia di beberapa tempat berbeda yang di dalam kehidupan mereka terlihat hubungan antara lingkungan dengan adat, tradisi, kebiasaan serta budayanya.

            Dalam cuplikan film dengan judul ‘Jungle: People of Tree’ banyak menceritakan kehidupan manusia yang tinggal di daerah terisolir, untuk bertahan hidup mereka harus pintar untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di daerah mereka. Diawali dengan kehidupan suatu suku yang hidup berdekatan dengan hutan hujan tropis. Hutan tersebut didominasi oleh pohon-pohon tinggi menjulang ke langit. Hutan lebat dan masih terjaga tersebut menjadi satu-satunya tempat bagi masyarakat suku tersebut untuk mencari bahan makanan sehari-hari bagi keluarganya. Monyet menjadi salah satu hewan yang banyak hidup di hutan hijan tropis itu. Populasi monyet di hutan tersebut terbilang cukup untuk menjadi sumber makan sehari-hari. Namun masalahnya adalah monyet-monyet yang hidup di hutan hujan tersebut selalu berada pada ujung pohon kanopi yang tinggi sehingga dibutuhkan keahlian lebih untuk dapat berburu monyet tadi. Dalam suku tadi, terlihta kehidupan yang masih sederhana. Para lelaki dari suku tersebut masih menggunakan pakaian-pakaian asli suku tersebut, dan masih menggunakan senjata untuk berburu yang terbuat dari bahan kayu atau bambu dengan panjang tiga sampai lima meter. Ukuran senjata dibuat panjang dengan tujuan agar dapat menjangkau monyet-monyet yang sering bergelantungan di atas pohon kanopi yang tinggi, sehingga para pemburu dapat dengan mudah untuk menjangkau senjata agar tepat sasaran. Sebelum melakukan pemburuan monyet tadi, terdapat ritual untuk para pemburu yang hendak pergi ke hutan dengan tujuan memburu monyet. Ritual tersebut dimaknai agar para pemburu menjadi kuat dan tangguh saat memburu monyet tadi. Ritual yang diisi dengan memberikan cairan yang terkandung dalam kulit kodong untuk disisipkan ke lubang di daerah lengan yang dibolongi dengan ujung batang besi yang panas. Selain itu, beberapa cairan juga dimasukkan ke mata. Hak tersebut dilakukan agar mata para pemburu tetap ‘awas’ untuk menatap ujung-ujung pohon kanopi yang tinggi. Mungkin inilah yang dimaksud dengan hubungan antara lingkungan dengan budaya pada cuplikan pertama di film ini. Untuk bertahan hidup, mereka harus memburu monyet di hutan hujan tropis dengan didominasi oleh pohon-pohon kanopi yang tingginya menjulang ke langit. Untuk dapat terus bertahan dalam kebiasaan berburu monyet, dibuat ritual dengan tujuan agar para pemburu dapat lebih kuat untuk berburu monyet di hutan tersebut. Lingkungan mengharuskan mereka (para pemburu) untuk tetap kuat dalam memburu monyet yang selalu berada di atas pohon kanopi yang tinggi, sehingga dibutuhkan mata yang lebih jeli dari mata pada umumnya dan juga tubuh yang kuat dari kekuatan tubuh pada umumnya. Kemudian untuk memanggil monyet-monyet agar turun ke bawah pohon ada sebuah keahlian tersendiri yang dimiliki masyarakat pada suku di film ini. Dengan mengeluarkan suara seperti seekor monyet yang nantinya akan membuat monyet-monyet untuk turun ke bawah sehingga para pemburu lebih mudah untuk membidik monyet tersebut. Kembali lagi dapat dikatakan bahwa lingkungan juga mempengaruhi keahlian yang dimiliki oleh manusia yang hidup dan bergantung pada lingkungan tersebut.

            Monyet dalam suku itu juga memiliki makna tersendiri. Bayi monyet yang ada di hutan, dipilih oleh masyarakat tadi sebagai hewan peliharaan, sedangkan monyet-monyet yang ada di hutan adala monyet yang khusus untuk diburu dan dimakan. Menurut mereka, monyet yang dipelihara tidak bisa dimakan karena rasanya tidak enak. Namun jika dilihat dari cuplikan fil ini, monyet yang dipelihara dirawat dengan cara yang isitimewa. Masyarakat pada suku ini merawat monyet-monyet mereka sebagaimana seorang ibu merawat anak bayi mereka. bayi monyet yang masih butuh air susu sang induk, maka perempuan yang memelihara bayi monyet tadi harus menyusui monyet tadi. Hal tersebut jika dipelajari dalam ilmu kejiwaan, nantinya akan menimbulkan kedekatan yang biasanya terjalin antara ibu dan anak. Mungkin hal tersebut yang membuat masyarakat suku tadi memunculkan anggapan bahwa monyet yang dipelihara tidak dapat dimakan, karena memakan monyet yang dipelihara seperti merawat anak sendiri sama saja dengan memakan daging anaknya sendiri.

            Beralih ke sebuah daerah yang bernama Papua Nugini. Papua Nugini juga termasuk daerah yang masih memiliki banyak hutan-hutan lebat, di dalamnya banyak hidup hewan-hewan liar, serangga serta beberapa burung yang memiliki keindahan yang luar biasa. Salah satunya adalah burung Rifle Bird Paradise, burung dengan panjang sekitar 30 cm yang berwarna hitam dengan warna-warni mahkota biru kehijauan yang dimiliki oleh burung jantan sedangkan burung betinanya memiliki warna coklat. Burung jantan dapat mengembangkan sayapnya yang indah sambil bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri di hadapan burung betina untuk memikat mereka. burung tadi menjadi burung endemik daerah Papua Nugini yang kemudian sering diburu dan digunakan sebagai penghias kepala yang dipakai untuk tarian daerah setempat. Tarian tersebut nantinya akan ditampilkan pada festifal yang diadakan rutin di daerah tersebut. Nampak bahwa lingkungan dan biota yang terdapat pada sebuah daerah seringkali mempengaruhi kesenian, serta tradisi daerah tersebut. Seperti burung indah pada film ini, bulu dari burung ini dengan warna biru dipakai untuk hiasan kepala bagi penari daerah setempat menjadi tanda khas daerahnya, sehingga dapat membedakan ciri khas daerah satu dengan daerah yang lain. Tidak hanya burung dengan sayap biru yang indah tadi, kebiasaan masyarakat Papua Nugini juga mempengaruhi sikap seni masyarakat itu. Kebiasaan mereka mengambil air dari sumber air di hutan secara beramai-ramai, kemudian mereka membuat musik dengan air sebagai medianya.

            Setelah tadi terlihat bagaimana lingkungan dimanfaatkan secara bersahaja oleh masyarakat yang cenderung masih bersifat sederhana, kemudian diperlihatkan bahwa ada beberapa manusia yang memanfaatkan lingkungan dengan semena-mena, mementingkan masalah materi tanpa dibarengi dengan keselematan lingkungan. Dalam cuplikan film tersebut terlihat penebangan pohon secara liar di hutan. Pohon-pohon ditebang tanpa ada usaha untuk menanamnya kembali. Hutan gundul, ekosistem hutan terancam, ditambah pemberdayaan hewan gajah secara kasar. Gajah digunakan sebagai alat angkut untuk memindahkan batang pohon dari tengah hutan ke truk-truk pengangkut diluar hutan. Jarak yang ditempuh gajah tadi tidaklah dekat, jalur yang dilewati juga bukan jalur yang lurus dan halus, gajah yang membawa batang kayu dengan berat yang amat sangat berat. Miris meligat manusia yang memperlakukan sesama makhluk hidup tadi hanya untuk kepentingan material. Berkembangnya jamanlah yang akhirnya membuat manusia bertindak demikian. Materi dinilai segalanya agar manusia dapat tetap bertahan hidup. Jika modernisasi membuat manusia bertindak lebih condong untuk mementingkan materi semata, lebih baik kembali saja ke jaman masyarakat sederhana yang lebih bijak dalam memanfaatkan lingkungan. Seperti pada saat-saat ini, dimana rata-rata hutan di Indonesia sudah mulai gundul, asap kendaraan bermotor yang memiliki polutan yang berbahaya bagi pernapasan dan juga asap-asap pabrik yang juga memiliki kadar polutan lebih tinggi akhirnya memunculkan efek rumah kaca atau sering sekali disebut sebagai global warming atau pemanasan secara global. Budaya modern masyarakat sekarang yang semakin tidak mementingkan kelestarian lingkungan juga mempengaruhi lingkungan saat ini. maka dapat dikatakan sifat masyarakat dapat mempengaruhi keadaan lingkungan sekitarnya. Bagi masyarakat yang bergantung pada hutan, hutan memiliki arti penting dalam hidup mereka. Namun kekuasaan manusia tidak berpihal pada mereka, jika hutan telah habis untuk dieksploitasi demi kepentingan penguasa yang tidak menyeimbangkan kepentingan terhadap mereka yang masih bergantung pada lingkungan, harus kemana masyarakat lokal tadi menggantungkan hidupnya. sedikit mengutip dari film tadi, “Their future doesn’t depend on them, it’s depend on us… our conscience”. Masa depan masyarakat yang biasa hidup selaras dengan alam, kini bergantung pada hati nurani manusia, sikap manusia untuk memanfaatkan alam dengan bijak dan bertanggung jawab menjadi salah satu harapan hidup mereka. hal tersebut menjadi pesan bagi manusia-manusia modern saat ini bahwa kita perlu untuk hidup dengan jalan yang berbeda-beda, karna merekalah orang-orang terakhir yang hidup bebas di planet ini.
          
  Selanjutnya menceritakan kehidupan yang sama yaitu masyarakat sederhana yang masih hidup bersahaja dengan alam. Bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya dimana alam dieksploitasi dengan semena-semena demi kepentingan penguasa. Masyarakat ini memanfaatkan pohon-pohon tua untuk membuat rumah pohon. Rumah pohon dibuat bersama-sama, baik perempuan ataupun laki-laki turut ikut membantu membuat rumah pohon yang diletakkan tinggi di atas pohon yang menjulang ke langit. Rumah pohon dibuat untuk melindungi mereka dari bahaya binatang buas, alam yang sudah tereksploitasi membuat habitat hewan-hewan terancam sehingga mengharuskan hewan-hewan tersebut untuk mencari tempat yang lebih baik. Suku Korowai yang merupakan salah satu suku di Papua Nugini membuat rumah pohon dengan alat yang sederhana serta bahan-bahan yang tersedia dari alam. Kesederhaan yang lekat dengan suku Korowai menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki oleh suku tersebut. Tradisi membuat rumah pohon bagi suku Korowai dapat dikatakan memiliki fungsi untuk memperat kekerabatan antar masyarakatnya. Setiap kepala keluarga yang ingin membangun rumah pohon, para tetangga ikut membantu  membangun rumah pohon tersebut.

Kesimpulan
Lingkungan yang diciptakan oleh Tuhan dibuat dengan tujuan agar bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keadaan alam yang asri, sumber daya alam yang melimpahmemerlukan keahlian yang khusus untuk memanfaat dan mengolahnya. Jika kembali ke masa lampau dengan keadaan masyarakat yang masih sederhana, kehidupan yang masih selaras dengan alam dan hidup yang masih bergantung dengan lingkungan dimana mereka tinggal. Lingkungan dan kebiasaan memiliki hubungan yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti pada suku Tsembaga yang hidup di pedalaman Irian. Orang-orang Tsembaga berbudaya holticulture yaitu terutama hidup dari hasil tanaman akar-akaran dan sayur-sayuran yang mereka tanam di kebun mereka, mereka juga memelihara babi-babi yang dipakai untuk memnuhi beberapa fungsi yang berguna. Meskipun babi jarang dimakan, namun babi itu “menjaga” kebersihan halaman karena memakan sampah-sampah dan karena tanah untuk perkebunan dirusak oleh babi, maka pengolahan tanah itu dibantu persiapannya oleh babi-babi tadi. Pemeliharaan babi dalam jumlah kecil mudah dilaksanakan, babi memakan apa saja yang “dibuang” manusia. Namun, lama-kelamaan permasalah muncul akibat jumlah babi yang terlalu banyak. Seringkali sisa-sisa makanan, sampah  dan kotoran tidak cukup lagi sehingga harus ditambah makanannya yang diambil dari jatah makanan manusia. pada akhirnya terpaksa manusia berebut makanan dengan manusia. Sehingga mau tidak mau, harus ada cara untuk mengatasi kelebihan populasi babi yang ada di Tsemabaga. Akhirnya masyarakat membuat sebuah ritual sebelum perang untuk mengatasi populasi yang berlebihan tadi. Di dalam ritual itu babi-babi disemeblih dan dimakan secara bersama-sama oleh para pejuang perang sebelum perang. Hal tersebut nantinya akan sedikit mengurangi populasi babi di Tsembaga, sehingga manusia tidak lagi harus berebut makanan atau berbagi makan dengan babi.

Hal tersebut menjadi salah satu contoh hubungan kebudayaan dengan lingkungan. Lingkungan terkadang dapat mempengaruhi kebudayaan sebuah daerah, mitos atau kepercayaan, kebiasaan, serta sifat-sifat dari masyarakat yang hidup berdekatan dengan alam. Namun, jika dilihat pada jaman sekarang ketika modernisasi mulai masuk dan merubah kebiasaan masyarakat yang dulunya bersifat sederhana berubah menjadi masyarakat yang selalu mengejar materi. Eksploitasi alam dilakukan untuk kepentingan penguasa tanpa memikirkan nasib masyarakat yang masih bergantung pada lingkungan. Terasa miris ketika dahulu masyarakat sederhana yang hidup selaras dengan lingkungannya dapat memanfaatkan lingkungan dengan tidak merusaknya, sedangkan masyarakat modern yang cenderung lebih dapat berpikir rasional dengan didukung ilmu pengetahuan serta teknologi yang maju namun tidak dibarengi dengan sifat bersahaja dalam mengeksploitasi alam. Sejatinya, manusia memang harus menggunakan hati nuraninya untuk lebih peduli kepada masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada lingkungannya. Karena manusia selalu berpikir apakah yang membuat mereka hidup? Karena kehidupan merupakan bagian dari sikap dan pikiran imajinatif manusia itu sendiri, jadi mulailah untuk mencintai lingkungan anda sendiri dan mengenali lingkungan anda sendiri sebelum mencintai lingkungan modern yang ditawarkan dengan romatisnya oleh para penguasa dunia.
Referensi
Ihromi, T.O. 1999. Pokok-Pokok Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sairin, Sjafrin dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar




[1] Baca “Pengantar Antropologi Ekonomi”, Sjafrin Sairin dkk, Pustaka Pelajar 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar