Bersahajalah
dengan Lingkungan
Antropologi sebagai sebuah ilmu dengan manusia sebagai
objek utama dalam kajiannya, serta hubungan-hubungan manusia dengan lingkup
hidupnya. Tidak hanya berhubungan dengan kebudayaan, manusia juga memiliki
hubungan dengan alam dan lingkungan. Alam menyediakan berbagai sumber kehidupan
manusia. Seringkali lingkungan dapat menjadi suatu faktor pembentukan pribadi
atau watak manusia, fisik manusia yang berbeda antara daerah satu dengan daerah
yang lain, bahkan lingkungan juga mempengaruhi sebuah tradisi atau budaya suatu
daerah. Dalam tulisan ini, fokus yang akan dibahas lebih mengenai lingkungan
yang memiliki hubungan terhadap budaya suatu daerah. Dalam ilmu antropologi,
seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa manusia serta segala yang
melingkupinya merupakan objek utama dalam kajiannya, termasuk lingkungan yang
nantinya mempengaruhi kebudayaan manusia. Hal tersebut memunculkan sebuah
cabang ilmu antropologi yang menkaji hubungan antara ekologi dengan manusia
yang dirasa hal tersebut sangat menarik dan membawa pengaruh besar pada
kehidupan manusia. Pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap kebudayaan merupakan
sebuah pemikiran yang baru-baru ini dibahas secara sungguh-sungguh oleh para
ahli antropologi. Lingkungan hanya dilihat sebagai faktor yang mempunyai
pengaruh yang membatasi kebudayaan yaitu bahwa aktivitas tertentu mustahil
terjadi pada iklim-iklim tertentu (seperti kebudayaan pertanian di daerah kutub),
tapi jangkauan yang lebih jauh tidak ada sehingga lingungan hanya dilihat
sebagai sesuatu yang tak mempunyai pengaruh langsung terhadap kebudayaan. (T.O
Ihromi, 1999: 68)
Involusi pertanian pada masyarakat Jawa dan penyakralan
masyarakat India terhadap sapi merupakan salah satu fenomena mengenai ekologi
budaya dan dibahas dalam antropologi ekologi. Sedikit membahas mengenai kasus
pantang makan daging sapi di kalangan orang Hindu di India yang menjadi salah
satu contoh dari hubungan lingkungan dengan kebudayaan. Kasus ini menjadi salah
satu ketertarikan dari Marvin Harris yang terkenal dengan teori cultural materialsm. Gejala sapi suci di
India sangat kontroversial pada banyak segi. Pada masyarakat kekurangan gizi
dan nutrisi berjangkit luas saat itu, namun sapi tetap dibiarkan hidup dan mati
begitu saja tanpa pernah dimanfaatkan daging dan lemaknya. Sapi di India
ternyata juga sudah melampaui batas untuk menjaga kelestarian lingkungan,
persediaan sumber daya alam yang tersedia hanya cukup untuk memberi makan
sepertiga sampai setengah dari populasi sapi yang ada. Hal tersebut membuat
manusia dan sapi di India saling berebut makanan karena apapun yang dimakan
manusia juga dimakan oleh sapi, bahan makanan yang harusnya dimakan oleh
manusia ternyata harus masuk ke dalam mulut sapi. Dapat dikatakan bahwa sapi
adalah sumber bencana bagi keberlangsungan hidup manusia di India, semua ini
berpangkal dari pelanggaran membunuh dan memakan daging sapi. Harris menarik
kesimpulan bahwa sapi di India memang lebih baik dibiarkan hidup daripada
disembelih dan dimakan dagingnya, pantangan membunuh sapi dikalangan orang
Hindu ternyata memiliki fungsi positif bagi kehidupan ekonomi mereka.[1]
Terlepas dari fenomena sapi suci di India, lingkungan dan
kebudayaan memiliki hubungan yang jika lebih dikaji lagi kedua hal tadi dapat
memberikan efek besar terhadap kehidupan manusia. Julian Steward adalah salah
seorang yang menyarankan pengkajian tentang ekologi kebudayaan, yaitu analisa
mengenai hubungan antara suatu kebudayaan alam dengan sekitarnya atau
lingkungannya (T.O Ihromi, 1999: 68). Jadi dapat dikatakan bahwa lingkungan
fisik dan lingkungan sosial berpenagruh terhadapa perkembangan dari kebudayaan
yaitu dalam arti bahwa individu-individu dan bangsa-bangsa berperilaku menurut
cara yang berbeda, mencapai keberhasilan yang berbeda tingkatnya dalam
perjuangannya untuk mempertahankan kelompoknya dan jumlah mereka dan sebagai konsekuensinya
berbeda juga mengenai cara penyampaian atau transmisi pola-pola perilakunya
dari satu generasi ke generasi.berikutnya. Berangkat dari anggapan bahwa
lingkungan memiliki keterkaitan dengan kebudayaan manusia, maka hal tersebut
juga terlihat pada film dokumenter seorang reporter dari Barat untuk
mendokumentasikan beberapa kehidupan manusia di beberapa tempat berbeda yang di
dalam kehidupan mereka terlihat hubungan antara lingkungan dengan adat,
tradisi, kebiasaan serta budayanya.
Dalam cuplikan film dengan judul ‘Jungle: People of Tree’ banyak menceritakan kehidupan manusia yang
tinggal di daerah terisolir, untuk bertahan hidup mereka harus pintar untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di daerah mereka. Diawali dengan
kehidupan suatu suku yang hidup berdekatan dengan hutan hujan tropis. Hutan
tersebut didominasi oleh pohon-pohon tinggi menjulang ke langit. Hutan lebat
dan masih terjaga tersebut menjadi satu-satunya tempat bagi masyarakat suku
tersebut untuk mencari bahan makanan sehari-hari bagi keluarganya. Monyet
menjadi salah satu hewan yang banyak hidup di hutan hijan tropis itu. Populasi
monyet di hutan tersebut terbilang cukup untuk menjadi sumber makan
sehari-hari. Namun masalahnya adalah monyet-monyet yang hidup di hutan hujan
tersebut selalu berada pada ujung pohon kanopi yang tinggi sehingga dibutuhkan
keahlian lebih untuk dapat berburu monyet tadi. Dalam suku tadi, terlihta
kehidupan yang masih sederhana. Para lelaki dari suku tersebut masih
menggunakan pakaian-pakaian asli suku tersebut, dan masih menggunakan senjata
untuk berburu yang terbuat dari bahan kayu atau bambu dengan panjang tiga
sampai lima meter. Ukuran senjata dibuat panjang dengan tujuan agar dapat
menjangkau monyet-monyet yang sering bergelantungan di atas pohon kanopi yang
tinggi, sehingga para pemburu dapat dengan mudah untuk menjangkau senjata agar
tepat sasaran. Sebelum melakukan pemburuan monyet tadi, terdapat ritual untuk
para pemburu yang hendak pergi ke hutan dengan tujuan memburu monyet. Ritual
tersebut dimaknai agar para pemburu menjadi kuat dan tangguh saat memburu
monyet tadi. Ritual yang diisi dengan memberikan cairan yang terkandung dalam
kulit kodong untuk disisipkan ke lubang di daerah lengan yang dibolongi dengan
ujung batang besi yang panas. Selain itu, beberapa cairan juga dimasukkan ke
mata. Hak tersebut dilakukan agar mata para pemburu tetap ‘awas’ untuk menatap
ujung-ujung pohon kanopi yang tinggi. Mungkin inilah yang dimaksud dengan
hubungan antara lingkungan dengan budaya pada cuplikan pertama di film ini.
Untuk bertahan hidup, mereka harus memburu monyet di hutan hujan tropis dengan
didominasi oleh pohon-pohon kanopi yang tingginya menjulang ke langit. Untuk
dapat terus bertahan dalam kebiasaan berburu monyet, dibuat ritual dengan
tujuan agar para pemburu dapat lebih kuat untuk berburu monyet di hutan
tersebut. Lingkungan mengharuskan mereka (para pemburu) untuk tetap kuat dalam
memburu monyet yang selalu berada di atas pohon kanopi yang tinggi, sehingga
dibutuhkan mata yang lebih jeli dari mata pada umumnya dan juga tubuh yang kuat
dari kekuatan tubuh pada umumnya. Kemudian untuk memanggil monyet-monyet agar
turun ke bawah pohon ada sebuah keahlian tersendiri yang dimiliki masyarakat
pada suku di film ini. Dengan mengeluarkan suara seperti seekor monyet yang
nantinya akan membuat monyet-monyet untuk turun ke bawah sehingga para pemburu
lebih mudah untuk membidik monyet tersebut. Kembali lagi dapat dikatakan bahwa
lingkungan juga mempengaruhi keahlian yang dimiliki oleh manusia yang hidup dan
bergantung pada lingkungan tersebut.
Monyet dalam suku itu juga memiliki makna tersendiri.
Bayi monyet yang ada di hutan, dipilih oleh masyarakat tadi sebagai hewan
peliharaan, sedangkan monyet-monyet yang ada di hutan adala monyet yang khusus
untuk diburu dan dimakan. Menurut mereka, monyet yang dipelihara tidak bisa
dimakan karena rasanya tidak enak. Namun jika dilihat dari cuplikan fil ini,
monyet yang dipelihara dirawat dengan cara yang isitimewa. Masyarakat pada suku
ini merawat monyet-monyet mereka sebagaimana seorang ibu merawat anak bayi mereka.
bayi monyet yang masih butuh air susu sang induk, maka perempuan yang
memelihara bayi monyet tadi harus menyusui monyet tadi. Hal tersebut jika
dipelajari dalam ilmu kejiwaan, nantinya akan menimbulkan kedekatan yang
biasanya terjalin antara ibu dan anak. Mungkin hal tersebut yang membuat
masyarakat suku tadi memunculkan anggapan bahwa monyet yang dipelihara tidak
dapat dimakan, karena memakan monyet yang dipelihara seperti merawat anak
sendiri sama saja dengan memakan daging anaknya sendiri.
Beralih ke sebuah daerah yang bernama Papua Nugini. Papua
Nugini juga termasuk daerah yang masih memiliki banyak hutan-hutan lebat, di
dalamnya banyak hidup hewan-hewan liar, serangga serta beberapa burung yang
memiliki keindahan yang luar biasa. Salah satunya adalah burung Rifle Bird Paradise, burung dengan
panjang sekitar 30 cm yang berwarna hitam dengan warna-warni mahkota biru
kehijauan yang dimiliki oleh burung jantan sedangkan burung betinanya memiliki
warna coklat. Burung jantan dapat mengembangkan sayapnya yang indah sambil
bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri di hadapan burung betina untuk memikat
mereka. burung tadi menjadi burung endemik daerah Papua Nugini yang kemudian
sering diburu dan digunakan sebagai penghias kepala yang dipakai untuk tarian
daerah setempat. Tarian tersebut nantinya akan ditampilkan pada festifal yang
diadakan rutin di daerah tersebut. Nampak bahwa lingkungan dan biota yang
terdapat pada sebuah daerah seringkali mempengaruhi kesenian, serta tradisi
daerah tersebut. Seperti burung indah pada film ini, bulu dari burung ini
dengan warna biru dipakai untuk hiasan kepala bagi penari daerah setempat
menjadi tanda khas daerahnya, sehingga dapat membedakan ciri khas daerah satu
dengan daerah yang lain. Tidak hanya burung dengan sayap biru yang indah tadi,
kebiasaan masyarakat Papua Nugini juga mempengaruhi sikap seni masyarakat itu.
Kebiasaan mereka mengambil air dari sumber air di hutan secara beramai-ramai,
kemudian mereka membuat musik dengan air sebagai medianya.
Setelah tadi terlihat bagaimana lingkungan dimanfaatkan
secara bersahaja oleh masyarakat yang cenderung masih bersifat sederhana,
kemudian diperlihatkan bahwa ada beberapa manusia yang memanfaatkan lingkungan
dengan semena-mena, mementingkan masalah materi tanpa dibarengi dengan
keselematan lingkungan. Dalam cuplikan film tersebut terlihat penebangan pohon
secara liar di hutan. Pohon-pohon ditebang tanpa ada usaha untuk menanamnya
kembali. Hutan gundul, ekosistem hutan terancam, ditambah pemberdayaan hewan
gajah secara kasar. Gajah digunakan sebagai alat angkut untuk memindahkan
batang pohon dari tengah hutan ke truk-truk pengangkut diluar hutan. Jarak yang
ditempuh gajah tadi tidaklah dekat, jalur yang dilewati juga bukan jalur yang
lurus dan halus, gajah yang membawa batang kayu dengan berat yang amat sangat
berat. Miris meligat manusia yang memperlakukan sesama makhluk hidup tadi hanya
untuk kepentingan material. Berkembangnya jamanlah yang akhirnya membuat
manusia bertindak demikian. Materi dinilai segalanya agar manusia dapat tetap
bertahan hidup. Jika modernisasi membuat manusia bertindak lebih condong untuk
mementingkan materi semata, lebih baik kembali saja ke jaman masyarakat
sederhana yang lebih bijak dalam memanfaatkan lingkungan. Seperti pada
saat-saat ini, dimana rata-rata hutan di Indonesia sudah mulai gundul, asap
kendaraan bermotor yang memiliki polutan yang berbahaya bagi pernapasan dan
juga asap-asap pabrik yang juga memiliki kadar polutan lebih tinggi akhirnya
memunculkan efek rumah kaca atau sering sekali disebut sebagai global warming atau pemanasan secara
global. Budaya modern masyarakat sekarang yang semakin tidak mementingkan
kelestarian lingkungan juga mempengaruhi lingkungan saat ini. maka dapat
dikatakan sifat masyarakat dapat mempengaruhi keadaan lingkungan sekitarnya.
Bagi masyarakat yang bergantung pada hutan, hutan memiliki arti penting dalam
hidup mereka. Namun kekuasaan manusia tidak berpihal pada mereka, jika hutan
telah habis untuk dieksploitasi demi kepentingan penguasa yang tidak
menyeimbangkan kepentingan terhadap mereka yang masih bergantung pada
lingkungan, harus kemana masyarakat lokal tadi menggantungkan hidupnya. sedikit
mengutip dari film tadi, “Their future
doesn’t depend on them, it’s depend on us… our conscience”. Masa depan
masyarakat yang biasa hidup selaras dengan alam, kini bergantung pada hati
nurani manusia, sikap manusia untuk memanfaatkan alam dengan bijak dan
bertanggung jawab menjadi salah satu harapan hidup mereka. hal tersebut menjadi
pesan bagi manusia-manusia modern saat ini bahwa kita perlu untuk hidup dengan
jalan yang berbeda-beda, karna merekalah orang-orang terakhir yang hidup bebas
di planet ini.
Selanjutnya menceritakan kehidupan yang sama yaitu
masyarakat sederhana yang masih hidup bersahaja dengan alam. Bertolak belakang
dengan keadaan sebelumnya dimana alam dieksploitasi dengan semena-semena demi
kepentingan penguasa. Masyarakat ini memanfaatkan pohon-pohon tua untuk membuat
rumah pohon. Rumah pohon dibuat bersama-sama, baik perempuan ataupun laki-laki
turut ikut membantu membuat rumah pohon yang diletakkan tinggi di atas pohon
yang menjulang ke langit. Rumah pohon dibuat untuk melindungi mereka dari
bahaya binatang buas, alam yang sudah tereksploitasi membuat habitat
hewan-hewan terancam sehingga mengharuskan hewan-hewan tersebut untuk mencari
tempat yang lebih baik. Suku Korowai yang merupakan salah satu suku di Papua
Nugini membuat rumah pohon dengan alat yang sederhana serta bahan-bahan yang
tersedia dari alam. Kesederhaan yang lekat dengan suku Korowai menjadi keunikan
tersendiri yang dimiliki oleh suku tersebut. Tradisi membuat rumah pohon bagi
suku Korowai dapat dikatakan memiliki fungsi untuk memperat kekerabatan antar
masyarakatnya. Setiap kepala keluarga yang ingin membangun rumah pohon, para
tetangga ikut membantu membangun rumah
pohon tersebut.
Kesimpulan
Lingkungan yang
diciptakan oleh Tuhan dibuat dengan tujuan agar bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Keadaan alam yang asri, sumber daya alam yang melimpahmemerlukan
keahlian yang khusus untuk memanfaat dan mengolahnya. Jika kembali ke masa
lampau dengan keadaan masyarakat yang masih sederhana, kehidupan yang masih
selaras dengan alam dan hidup yang masih bergantung dengan lingkungan dimana
mereka tinggal. Lingkungan dan kebiasaan memiliki hubungan yang nantinya akan
mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti pada suku Tsembaga yang hidup di
pedalaman Irian. Orang-orang Tsembaga berbudaya holticulture yaitu terutama hidup dari hasil tanaman akar-akaran
dan sayur-sayuran yang mereka tanam di kebun mereka, mereka juga memelihara
babi-babi yang dipakai untuk memnuhi beberapa fungsi yang berguna. Meskipun
babi jarang dimakan, namun babi itu “menjaga” kebersihan halaman karena memakan
sampah-sampah dan karena tanah untuk perkebunan dirusak oleh babi, maka
pengolahan tanah itu dibantu persiapannya oleh babi-babi tadi. Pemeliharaan
babi dalam jumlah kecil mudah dilaksanakan, babi memakan apa saja yang
“dibuang” manusia. Namun, lama-kelamaan permasalah muncul akibat jumlah babi
yang terlalu banyak. Seringkali sisa-sisa makanan, sampah dan kotoran tidak cukup lagi sehingga harus
ditambah makanannya yang diambil dari jatah makanan manusia. pada akhirnya
terpaksa manusia berebut makanan dengan manusia. Sehingga mau tidak mau, harus
ada cara untuk mengatasi kelebihan populasi babi yang ada di Tsemabaga.
Akhirnya masyarakat membuat sebuah ritual sebelum perang untuk mengatasi
populasi yang berlebihan tadi. Di dalam ritual itu babi-babi disemeblih dan
dimakan secara bersama-sama oleh para pejuang perang sebelum perang. Hal
tersebut nantinya akan sedikit mengurangi populasi babi di Tsembaga, sehingga
manusia tidak lagi harus berebut makanan atau berbagi makan dengan babi.
Hal tersebut
menjadi salah satu contoh hubungan kebudayaan dengan lingkungan. Lingkungan
terkadang dapat mempengaruhi kebudayaan sebuah daerah, mitos atau kepercayaan,
kebiasaan, serta sifat-sifat dari masyarakat yang hidup berdekatan dengan alam.
Namun, jika dilihat pada jaman sekarang ketika modernisasi mulai masuk dan
merubah kebiasaan masyarakat yang dulunya bersifat sederhana berubah menjadi
masyarakat yang selalu mengejar materi. Eksploitasi alam dilakukan untuk
kepentingan penguasa tanpa memikirkan nasib masyarakat yang masih bergantung
pada lingkungan. Terasa miris ketika dahulu masyarakat sederhana yang hidup
selaras dengan lingkungannya dapat memanfaatkan lingkungan dengan tidak
merusaknya, sedangkan masyarakat modern yang cenderung lebih dapat berpikir
rasional dengan didukung ilmu pengetahuan serta teknologi yang maju namun tidak
dibarengi dengan sifat bersahaja dalam mengeksploitasi alam. Sejatinya, manusia
memang harus menggunakan hati nuraninya untuk lebih peduli kepada masyarakat
yang masih menggantungkan hidupnya pada lingkungannya. Karena manusia
selalu berpikir apakah yang membuat mereka hidup? Karena kehidupan merupakan
bagian dari sikap dan pikiran imajinatif manusia itu sendiri, jadi mulailah
untuk mencintai lingkungan anda sendiri dan mengenali lingkungan anda sendiri
sebelum mencintai lingkungan modern yang ditawarkan dengan romatisnya oleh para
penguasa dunia.
Referensi
Ihromi, T.O. 1999. Pokok-Pokok Antropologi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Sairin, Sjafrin dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar